Oleh: Ningrum | 18 Desember 2008

Rasional;benar?- Irrasional;tidak benar?

Langsung saja, hipotesa dari judul yang tanda tanya. “Yang rasional belum tentu benar, yang benar belum tentu (tidak selalu) bisa dirasionalkan“.

Haruskah kita memaksakan sesuatu yang sulit atau barangkali tidak dianggap rasional untuk terus dirasionalkan untuk bias dipercayai?. Atau pernakah ketika suatu hal sulit dirasionalkan atau dianggap hanya sebuah imaji-imaji tanpa makna dan bentuk, lalu serta merta kita mangatakan itu adalah hal yang bohong belaka! absurb! Konyol! Bodoh! Gila!. Ada baiknya tidak terburu mencaci hal-hal yang memang sulit dirasionalkan, atau memakai paham pokoknya begini (padahal itu menurut diri sendiri, tepatnya mengikuti-menurut pemikiran pemikir yang diidolakan yang juga pernah mengatakan hal yang dikatakan itu sebagai sesuatu yang bohong belaka! absurb! Konyol! Bodoh! Gila!, heee jika ini ada, berarti hanya mengulang dan mengamini yang telah orang lain;idolanya katakan).
Jika ini terjadi tawaran dari saya (jika mau) adalah sekali-kali menanyakan kepada diri jangan-jangan rasio diri yang memang terbatas untuk merasionalkan hal-hal itu (yang tak tergapai oleh rasio)?.

Hmm…bukankah manusia memang terbatas?  Usia terbatas, jabatan memiliki waktu, kekayaan  dan kejayaan pun akan berganti. Bumi terbatas; pada waktunya pun akan musnah, air terbatas, oxygen terbatas, cahaya terbatas, daya terbatas, kehidupan terbatas. Tak mustahil bukan yang menempati keterbatasan;kita juga terbatas?

Pernahkah kau melihat Allah Tuhanmu?, atau apa itu Allah?  Mengapa kau begitu mempercayainya?. Mempercayai yang tak pernah kau lihat?. 

Pernahkah kau melihat oxygen? Bagaimana bentuk dan wujudnya? Bagaimana kau yakin itu oxygen, Apa itu oksigen? Pernahkah kau melihat bentuk angin yang semilir?. Apa itu cinta? Bentuk cinta sesungguhnya?
Pertanyaan ini bukan pengidentikkan atau pengasosiasian Tuhan dengan nama-nama tersebut, namun hanya sesuatu yang  juga contoh kecil yang tak terbukti wujudnya; apakah kotak, bulat, segitiga, tinggi, pendek, besar kecil atau segala rupa. Tapi kita merasakan keberadaanya dan memerlukannya.

Hipotesanya: ada (benar adanya) itu tak mesti berwujud atau juga tidak selalu mampu terdefinisi atau sebagai jawab dari apa, kata lainnya bisa dengan sebutan sulit terrasionalisasi.

* * * * *

Sebenarnya apa itu Tuhan, bagaimana kah Ia, dimanakah Tuhan, bisa ditemukan dalam al-quran (kemungkinan akan mustahil percaya dengan isinya, jika dengar kata kitab suci ini saja sudah apriori duluan). Mengapa hanya al-Qur’an yang menjadi contoh dalam tulisan ini? Karena saya juga masih belajar membaca isi kitab ini (yang belum jua tamat-tamat dalam memahaminya). Untuk kitab yang lain saya juga belum mampu mempelajari;bukan berarti saya menafikkan nilai-nilai kebaikan pada kitab agama samawi lainnya.

Sebenarnya saya ingin mengatakan, jika bloggers termasuk salah satu yang tak mau beragama, tepatnya  anti agama (agama apapun itu). Atau menganggap ajaran agama adalah bohong belaka, karangan orang-orang terdahulu yang penuh ke-irrasionalan, pencipta permusuhan  dan lain sebagainya.
Lalu, pernahkah mencari atau setidak-tidaknya melihat ajaran-ajaran positifnya? Nilai-nilai positifnya (ada pada dua sumber hukum yang dijadikan tuntunan). Misalnya menjujung persamaan-mengutuk diskriminasi, menghargai orang lain, hendaknya bermanfaat bagi orang lain, menahan emosi, kewajiban berbagi dengan orang lain (menyisihkan sebagian harta yang dimiliki) tiap seseorang untuk sebagian yang lain. Berkurban. Bagaimana memperlakukan (ber-adab) dengan tetangga. Bagaimana cara makan. Keharusan menuntut ilmu, anjuran untuk selalu berfikir;memikirkan segala yang ada;sebagai salah satu tanda orang yang bertaqwa dan beruntung.
 
Bukankah cukup rasional  dan  sangat me-nyata;aplikatif pada bagian-bagian terse but diatas?
Tanpa bagian yang ini (yang baik-baik) mustahil kita tahu mana yang buruk-tercela. Begitu juga sebaliknya; segala yang nyatanya berpasangan bisa menjadi perantara pemahaman. Lewat inilah kita diajarkan, melalui perantara nama (sebutan) dan kejadian, perantara yang ada ke yang tidak ada (tidak nyata mewujud).

Sampai di sini, Tepatkah jika kita menafikkan isi atau mengeneralisasikan hanya karena bentuk atau tampilannya tak kita suka, atau belum mampu terasionalisasi?. Bukankah berfikir rasional juga bisa atau dekat dengan artian berfikir secara menyeluruh;mengedepankan obyektifitas? Tidak segera menilai atau memfonis- memberikan justifikasi bahwa “Orang Islam edan! sama gilanya atau lebih gila dari yang diikuti, ajarannya sulit diterima akal“.

Bagaimana  bisa mengejudge atau menilai, jika sang penilai belum mengerti benar tentang  apa yang telah dinilainya?. Apa jadinya rasionalisasi  tanpa obyektifitas?,  Mata kanan tanpa mata kiri?, akal tanpa hati?.

Aghh entahlah, saya ini hanya manusia benar-benar biasa yang masih belajar merasa dan mikir, walau hasilnya terkadang atau sering mentok (seperti tulisan ini?), ternyata belum juga kapok-kapok 🙂 . Blog perempuannya ningrum.


Tanggapan

  1. ga bisa diputuskan langsung benar salahnya 😀 liat konteks masing2 kasus dulu hehehe

  2. rasional itukan yang bisa dicerna dan dinalar oleh kala pikiran kira, sedangkan akal pikiran kita juga terbatas serta setiap orang punya persepsi yang berbeda-beda. JAdi tergantung sudut pandang seseorang. Yagn rasional menurut saya belum tentu rasional menurut kamu… Iya kan.

  3. 4. Mbak Lala
    yup, ga bisa cepet nge-judge, dilihat dulu, boleh lah dari berbagai angel

    4.Sam Prim
    Setuju… dalam topik ini rasional juga harus disandingkan dengan obyektifitas, walaupun hasil akhirnya barangkali akan tetap terbatas atau membuat diam tak utuh terpahami


Tinggalkan Balasan ke Lala Batalkan balasan

Kategori